Kamis, 23 Desember 2010

Mbah Maridjan

Mbah Maridjan
























Raden Ngabehi Surakso Hargo atau lebih dikenal dengan sebutan Mbah Maridjan yang memiliki nama asli Mas Penewu Surakso Hargo ini lahir pada 5 Februari 1927 di Dukuh Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, menikah dengan Ponirah (73). Pasangan ini dikaruniai 10 orang anak (lima di antaranya telah meninggal), 11 cucu, dan 6 orang cicit.

Ia diangkat menjadi abdi dalem Keraton Kesultanan Yogyakarta pada tahun 1970 oleh mendiang Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan diberi nama baru, yaitu Mas Penewu Surakso Hargo. Awalnya, jabatan Mbah Maridjan adalah wakil juru kunci dengan pangkat Mantri Juru Kunci , mendampingi ayahnya yang menjabat sebagai juru kunci Gunung Merapi. Jabatan sebagai juru kunci, ia sandang sejak tahun 1982.



Tempat tinggal Mbah  Maridjan dalam kenangan
Tempat tinggal Mbah Maridjan dalam kenangan


Seribu pertanyaan dari publik tentang keberadaan Mbah Maridjan terjawab sudah. Juru kunci Gunung Merapi itu ikut gugur di pangkuan gunung penebar kesuburan itu. Amanah Sultan HB IX untuk menjaga gunung paling berbahaya di Indonesia itu, selesai sudah.

Nama Mbah Mardijan melambung seiring dengan peristiwa meletusnya Gunung Merapi, Yogyakarta, pada 2006 lalu. Mbah Maridjan terkenal karena sebagai juru kunci Gunung Merapi, dia tidak mau mematuhi perintah untuk turun gunung oleh Sultan Hamengkubuwono X. Akibatnya, mata dunia pun terbelalak pada sosok renta yang sangat sederhana ini.

Pada tanggal 26 Oktober 2010, gunung Merapi kembali meletus disertai awan panas setinggi 1,5 kilometer. Gulungan awan panas tersebut meluncur turun melewati kawasan tempat mbah Maridjan bermukim. Jasad Mbah Maridjan ditemukan beberapa jam kemudian oleh tim SAR bersama dengan 16 orang lainnya telah meninggal dunia, umumnya kondisi korban yang ditemukan mengalami luka bakar serius.
Satu dari 4 jenazah yang belum teridentifikasi, diduga Mbah Maridjan. Ini didasarkan pada ciri-ciri seperti, dia mengenakan sarung, baju batik, dan ditemukan di rumah Mbah Maridjan.



Inilah Detik-Detik Akhir Kematian Mbah Marijan :

Selasa, 26 Oktober 2010

Pukul: 17.00, Mbah Marijan sedang berada di rumahnya. Saat itu, dia didatangi dua tamu yang membujuk agar bersedia turun. Tapi, Mbah Marijan tetap tidak mau meninggalkan rumah.

Pukul: 17.10, Terdengar gemuruh dari lereng Merapi. Setelah itu, terlihat warna merah di atas Merapi.

Pukul: 17.15-19.00, Perkiraan waktu selama awan panas (wedhus gembel) meluncur dari atas Merapi dan menyapu kampung Mbah Marijan di Kinahrejo. Ketika awan panas meluncur, Mbah Marijan diduga sedang salat Magrib di dalam kamar pribadinya. Diduga, ketika sedang bersujud, tubuhnya dihantam awan panas hingga nyawanya melayang.

Pukul: 21.00-24.00, Tim evakuasi tiba di Kinahrejo untuk mencari korban, termasuk mencari kejelasan nasib Mbah Marijan. Tapi, hingga pukul 00.00, Mbah Marijan tak ditemukan. Sempat beredar kabar Mbah Marijan selamat tapi dalam kondisi lemas.

Rabu, 27 Oktober 2010
Pukul: 06.30, Para relawan dari tim SAR dan PMI menemukan jasad di kamar pribadi Mbah Marijan. Jasad itu sedang bersujud. Dari pakaian yang tersisa, diyakini bahwa jasad itu adalah Mbah Marijan.

Dan berikut adalah foto Mbah Maridjan (83) yang ketika ditemukan dalam posisi sedang sujud di atas sajadah mengarah kiblat di dalam kamar rumahnya,






Kini, sosok sederhana dan rendah hati ini telah tiada. Wdhus gembel dari Merapi menghampirinya dan membawanya pergi untuk selamanya. Mbah Maridjan menepati janjinya kepada Sultan HB IX untuk terus menjaga Merapi sampai akhir hayat.

Selamat jalan Mbah, di mata kami, sampeyan tetap roso !!!

Tidak ada komentar: